Kamis, 26 April 2012

Dasar hukum perbankan syariah di Indonesia


Dasar hukum pelaksanaan perbankan syariah di Indonesia terbagi dalam dua bagian yaitu dasar hukum normatif dan dasar hukum formal. Keduanya secara simultan memberikan kekuatan hukum berlakunya perbankan syariah di Indonesia. Dasar hukum normatif berasal dari hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Ketentuan ini akan dikeluarkan dalam bentuk Fatwa Dewan Syariah Nasional.
Kekuatan mengikat fatwa itu bersifat normatif, artinya fatwa itu hanya mengikat, pertama bagi yang mengeluarkan atau yang mengfatwakannya, dan kedua mengikat bagi yang menerimanya atau yang menundukan diri atas fatwa itu. Karena sifat dan kekuatannya seperti itu, maka berlakunya belum secara mutlak bagi seluruh umat Islam. Berbeda halnya jika ketentuan itu langsung dari Al Qur’an dan Sunnah, secara otomatis langsung mengikat bagi umat islam di Indonesia.
Hukum Islam yang terbangun dari dari sumber yang pokok dan terbentuk dari proses ijtihad merupakan norma atau kaidah hukum yang hanya memiliki kekuatan mengikat jika di akui, diterima, dan di laksanakan oleh umat Islam sesuai dengan tingkat kesadaran dan keimanannya. Sedangkan dasar hukum formal merupakan ketentuan yang telah melalui proses positivisasi atau formalisasi oleh Negara melalui lembaga Legislatif dan Bank Indonesia sebagai lembaga yang memiliki otoriter terhadap Perbankan Indonesia.
Dasar hukum peraturan perundang undangan nasional:
1. Pancasila sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
2. UUD 1945 pasal 29
Ekonomi Islam mengajarkan tegaknya nilai nilai keadilan, kejujuran, transaparansi, anti korupsi dan eksploitasi artinya misi utamanya adalah tegaknya nilai nilai ahlak dalam aktivitas bisnis baik individu, perusahaan maupun Negara. Penerapan hukum ekonomi syariah memiliki dasar yang sangat kuat. Ketentuan pasal 29 ayat (1) UUD 1945 dengan menyatakan Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada dasarnya mengandung tiga makna:
  • Negara tidak boleh membuat peraturan perundang undangan atau melakukan kebijakan kebijakan yang bertentangan dengan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
  • Negara berkewajiban membuat peraturan perundang undangan atau melakukan kebijakan kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memeluknya,
  • Negara berkewajiban membuat peraturan perundang undangan yang melarang siapapun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama.
Melaui ketentuan dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 seluruh syariat Islam khususnya yang menyangkut hukum bidang muamalah pada dasarnya dapat di jalankan secara sah dan formal oleh muslimin baik langsung maupun tidak langsung dengan jalan diadopsi dalam hukum positif nasional.
3. Undang undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang di ubah dengan Undang undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Di berlakukannya Undang undang No. 7 tahun 1992 maka bank Islam di akomodasi dalam Undang undang tersebut dengan nama bank bagi hasil. Maka sejak saat itu di Indonesia mengenal dual banking system yaitu bank konvensional dan bank bagi hasil.
Dalam Undang undang No. 7 tahun 1992 pasal 6 huruf m jo pasal 13 huruf c dengan tegas membuka kemungkinan bagi bank untuk melakukan kegiatan berdasarkan prinsip bagi hasil dengan nasabahnya, baik Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat. Kemudian dalam Undang undang no 10 tahun 1998 khususnya pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Selanjutnya angka 13 menyebutkan bahwa “prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperolah keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)”.
4. KUH Perdata pasal 1338
bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya disamping apa yang atur dalam Undang undang juga yang tidak diatur dalam undang undang tetapi masuk dalam perjanjian maka hal tersebut sama kekuatannya dengan undang undang dan apabila di langgar maka bisa di tuntut didepan pengadilan. Di samping itu KUH Perdata juga mengatur tentang asas kebebasan berkontrak bahwa para pihak bisa membuat perjanjian/kontrak di luar apa yang diatur dalam Undang Undang asalkan tidak bertentangan dengan kepatutan dan ketertiban umum.
5. peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tertanggal 14 oktober 2004 tentang Bank Umum
Yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Dan untuk BPRS yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tanggal 1 juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Syariah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

animasi bergerak gif
Mirip Aku